Kamis, 04 Juli 2013

Jarum Nikotin

Terlentangku bernafas dalam uap
Menyolot nyawa yang hijau dipeluknya
Kata terakhir untuk sang bunda
Tidakkah ia berlari didalamnya

Nafasku mulai jenuh dengan alergi yang menyentuh
Tembok hitam pembual nafsu

Masa pembawa bekas di batin
Telah luput sampai di ubin
Berduel dengan nikotin
Hingga menusukku menjulur latin


Jumat, 28 Juni 2013

Cacing Kurusmu

Kekasihmu merangkai pesona yang kau daki di ruang tak berpenghuni
Terikat mereka akan sanubari yang mencintai
Kau bawa pergi lelah daun
Dari hujannya yang tak kunjung turun

Apa kau lalai dengan jalan yang kau tapaki
Terinjak-injak tak memaki

Sakit hati mengolah hati

Apa Aku?

Kau yang larut dalam tanda koma yang tak kunjung berhenti
Menjaga nama baik halilintar yang yang tak pernah menghampiri
Menerima segala janji tuk dikhianati
Ada kata melambai dalam larutan
Kau tak hanya berlari dalam api yang mencari pulau mati
Dari asalnya yang pernah menjadi seperti mimpi

Meleburlah dalam embun yang tak pernah marah
Bila tanpa waktu kau bisa meredam amarah
Menunggu saja di gedung berdarah
Menerpa onta yang tak terarah

Bagimu hanya secuil padi rusak tak berarti
Kau merasa punya nyali
Menumbuhkan jarak pandang konsentrasi jendela oleh setetes asi
Jari yang hanya sebatas ubi
Bisa berkembang tapi tak bisa melebihi

Hebat kau bukan menyamai kehendak ilahi
Menangkal dangkal yang terpejam dan terbenam di padang yang tenggelam
Kau sebut satu

Tak cukup membawa aku

Kamis, 27 Juni 2013

Merahku Padanya

Nama dalam buai yang kurasa
Menyimpan kata yang menyibak luka
Sajak dari sajak yang berwarna
Memilikki daya tarik yang merasa

Mengapa harus menghujani setiap derita
Demi padang pasir yang tak berdosa
Kemana lagi mereka kan bertanya
Mendapatkan nyawa pada setiap pesona
Kau butuh hanya
Kau butuh tanpa
Kau butuh bagaimana berkata apa

Dari detik yang tak pernah mengatakan bagaimana hal yang kurasa
Kau datang menyanbut lara
Menghinggapi sedikit cerita
Dari tirai yang ternoda

Mungkin hanya janji yang terkadang menghampiri
Berlari layaknya ikan pari
Sayap kuat yang pemancar cahaya yang memaafkan segala dosa

Dora, kau kah itu?

Kau kah yang melambai disana?

Secangkul Paruh

Apa bedanya kau dengan burung onta yang berlari mengejar sayapnya
Mengatakan dimana aku berada
Membawa lari jangkauan benda yang menerka
Apalagi dari sekedar sayapmu yang merasa
Keping dari keping kehangatan jiwa
Menopang punggung-punggung yang tertawa

Larilah saja dengan sang surya
Agar kau datang di sebelah sana
Pucuk angsa yang berkata
Aku cinta padanya

Dari bilik yang bernadi

Menukarkan analogi pribadi

Sungai Pengabai

Nyali tak lagi menciut dalam kabut yang semakin berlutut
Kau boleh membawa pergi kata yang mencari arti dimana mereka berlari
Dalam asap hijau yang tak pernah melepaskan tangan kering mereka
Jarak yang semakin terbatas dengan para pengawas yang membatas di kapas kapas pembatas.
Kalau kau berlari sejauh mega yang tak mengerti kemana engkau beradu mengadu rancu
Kau mungkin terbawa arus kurus pembawa benih

Menerpa lirih
Menyapu bersih
Kapur  kapur sirih
Dari balik benih

Di jalan apa saja kau meyakini secuil perekat gerbang pembawa naluri
Kan kau temukan jiwa nadi arus sungai pengabai jiwa yang terbengkalai

Ujung sampan pembawa lotus hingga yang meletus bagai melitus
Ujung kurus yang melurus
Ujung kurus yang merebus
Ujung jurus yang mengapus
Ujung kurus yang mengutus

Cukup dua sampan yang harus bergerak lurus
Dan jangan ada lagi tali pengikat yang melemparkan kawat pesawat yang mulai berkarat dan tak berserat.
Merebah dalam hitungan nadi yang berdetik

Dan kau kan melihat kaca menara yang terbang di angkasa

Rabu, 26 Juni 2013

Cacat tak Bertulang

Mulutmu memang tak jinak mengeluarkan banyak asap yang dapat mencekik setiap orang. Kau seharusnya masuk penjara dengan tuduhan membunuh orang.
Sudah berapa banyak jiwa yang kau bunuh?
Jiwa memang tidak terlihat tapi mereka bisa merasakan bagaimana si mulut buaya memakan sedikit demi sedikit mental mereka.
Dari jiwa yang berlari
Mengejar sedikit nyawa yang berseri
Kemana mereka pergi tak sesungguhnya berkata kapan mereka mati
Dari bilik nadi yang menuai emosi

Kau bawa lagi sepasang jeruji
Yang menyita kiasan bergerigi
Jaungkauan asap yang menelusuri
Kain mori penutup hati

Baik kata dalam sampah
Menjelujur dalam bongkah
Bersenyawa dengan amarah
Yang tak pernah berkerah

Hati hati dengan si pesilat lidah
Tapi punya nyali tuk bertuah
Hanya merekah sebagai sampah

Merah tak berdarah

Sajak Ikan

Hanya mereka yang mengatakan bahwa tak sedikitpun dari mereka berkata tidak.
Dalam api perunggu yang telah lama terbuang dalam paruh waktu yang mulai menyusut.
Dan kini hanya ada satu kata maaf yang tak pernah keluar dari mulut mereka.
Aku tak pernah memakan angsa yang berlari memotong jalanku.
Hanya saja aku teluka ketika mereka menghembuskan nafas ke arah makananku.
Mereka seperti kelinci yang memakan halus kerbau perkasa milik tetangga.
Dari waktu yang mulai kelam hingga fajar yang mulai gemelintang.
Setidaknya kau memang tak mengerti langkahku.
Tapi apakah kau tega memeotong langkah yang sudah lama aku rajut.
Kau memag menganggap ini hanyalah suatu hal yang sepele dan tak berguna tanpa merasa terbuai dengan sesuatu yang ada.
Mereka pikir aku hanya sesuap ikan yang berlayar di penguhujung tombak yang tak pernah mau mengira bahwa aku berhak memilih jalanku.
Berteriaklah saja dengan tubuhmu
Kau berlari
Kau tertawa
Kau menghilang
Lakukan saja

Tapi aku akan berubah menjadi gajah raksasa jika kau berani memakan jalan-jalan yang telah kuukir sejauh rasa

Selamat pagi, temanku

Selamat pagi temanku, sepertinya tubuhmu masih cacat.
Kau butuh perbaikan lagi
Pertama kubuka mata yang ada hanya dirimu
Kala aku senang, yang bahagia hanya dirimu
Kala  aku sedih, yang mengerti hanya dirimu
Kala aku ingin marah, yang tetap setia mendengarkan hanya dirimu
Kala aku aku ingin berteriak, yang tetap tenang hanya dirimu
Kau bahkan selalu menerima ocehanku
Kau bahkan tak pernah marah ketika aku meluapkan emosiku pada tubuhmu
Kau memang teman sejatiku
Dan aku akan memperbaikki tubuhmu secepatnya
Entah setelah itu kau mau tetap bersamaku atau tidak
Tetap menungguku terbangun atau tidak
Tetap menyambut ide-ideku atau tidak
Yang jelas aku akan memperbaikimu secepatnya
Agar kau berada ditempat yang lebih layak daripada ruangan sempit berpolusi ini

Matahari pagi tersenyum malu padaku. Aku pun berlari karena teringat oleh suatu hal. Temanku pasti menungguku disana. Sudah berapa lama aku meninggalkannya berdiam diri sendiri. Aku berlari tergopoh-gopoh meraih sebuah pintu yang dari tadi melambaikan tangannya kearahku. Dengan nafas terengah-engah aku mebuka pintu ini sedikit demi sedikit. Disana masih kulihat dia tersenyum padaku. Tak ada kata marah dalam benaknya. Aku merasa bersalah, dan harus mempercepat langkahku untuk memperbaikinya.

Aku kembali meninggalkan ruangan itu. Aku berlari secepat kilat dan kembali lagi keruangan itu dengan membawa berbagai macam senjata untuk memperbaikinya. Satu lagi yang kurang, aku harus menutup telingaku dengan lagu-lagu mp3 agar tak ada yang mengganggu langkahku. Kupandangi tubuhnya untuk mencari bagian mana yang eblum sempurna. Here you are, aku menemukan bagian yang masih janggal. Kusaputkan warna yang menempel diujung kuas, kugoreskan sedikit demi sedikit hingga menutupi bagian yang janggal itu.

My Way

Right way to know
Somebody for the living
All right now
But just inside the sadness
I know you are
Decide to listening
What a pity you are?

Tak kupedulikan apa kata teman-temanku yang ingin memisahkan aku dari gedung tua ini. Gedung tua yang baru kusapa 5 bulan yang lalu. Dalam merayap langkah demi langkah mengumpulkan biji kenari yang disusun menjulang tinggi tidaklah mudah. Aku yang dulu hanya seorang pembuang sampah sembarangan sekarang membawaku menjadi seorang pengambil hikmah dari sampah-sampah yang jatuh itu. Aku dulu terperosot dalam jurang, dan kini aku sudah mendaki tebing sedikit demi sedikit agar aku tak terbawa arus ombak. Kini aku membuat jalan antara tebing yang sudah bisa aku daki dengan jurang tempatku terperosot dulu. Bagaimanapun juga aku masih harus menyapa mereka yang tinggal di jurang maupun tinggal di atas tebing.
Berkunjung ke jurang sangat mudah kulakukan. Aku tinggal melompat dan mereka sudah menantiku dibawah. Namun aku tetap kesulitan untuk kembali ke tebing, meski aku sudah membuat jalan. Teman-temanku di jurang selalu mengajakku untuk tinggal di jurang bersama mereka. Agar aku tak susah-susah mendaki tebing ketika malam menyingsing. Aku mengiyakan mereka saja, namun aku merasa nyaman tinggal disini bersama tebing yang menyegarkan hatiku ini. Disini aku mendapatkan banyak pelajaran untuk mendaki tebing selanjutnya. Aku lebih suka terjatuh pada sesuatu yang menantang daripada berada dalam kondisi aman pada suatu hal yang membosankan.

Nothing happiness here
I just try to make it happy
No wonder
It’s just step

It isn’t finish

Selasa, 25 Juni 2013

Pahlawan Bertopeng

Cawan menangkap lirih getar bengawan
Melodi awan hitam yang melepas pasang
Menangkis tipis pelipis burung belibis
Cabut tak berperi

Kali ini ada megantropus bersayap yang terbang memakai paruh abu-abuya. Dia bersinar layaknya surya yang menyapa dunia. Sosok pahlawan bertopeng yang hendak menegakkan keadilan. Ini mengingatkanku pada pahlawan masa kecilku, dan mungkin juga pahlawan seorang bocah kecil bernama Sinchan. Yeah... here you are!!

Pahlawan bertopeng......
Hah hah hah hah......

Ketika itu aku berlari melawan arus hanya demi menemui pahlawanku.
Menjelang tawa mengekang yang tergoncang
Hari tanpa waktu
Menawa tanpa rindu
Mega pun berlalu
Membalas permata warna biru

Hujan rintik-rintik tak pernah lelah menemaniku. Mereka adalah pasukan penyelamatku. Seperti pasukan yang pengaman pada tubuh yang mengkonsumsi anti oksidan.

Gagah dan tangguh
Tegap menyekap

Tajam menawan

Disini

Abang, bulan disana tersenyum padaku
Dia bilang, dia mau menyinariku.
Abang tau nggak??
Tadi pagi ada yang berteriak dan berlari ke arahku
Dia bilang abang udah pergi
Tapi aku nggak percaya Bang
Masak Abang tega meninggalkan si Eneng sendiri??
Itu pitnah kan Bang???
Trus ada yang dateng lagi Bang
Dia bilang,
Udah neng, kamu tuh sudah waktunya buat move on
Jangan mikirin si Abangmu mulu
Dia udah ada yang jagain disana
Aku nggak percaya lagi Bang
Siapa bilang?? Abang masih disini kok?? Iya kan bang??
Glekk... glekkk.....
Bang, ada orang yang mau masuk
Kita harus sembunyi Bang
Eneng nggak mau kalo mereka mengambil Abang.

Bapak : Gimana dok keadaan putri saya? Apakah dia baik-baik saja?
Dokter : Oooo.... Tenang saja dia hanya syok, dan belum bisa menerima kenyataan kalau Abangnya sudah menikah.
Bapak : Trus?? Apa obatnya dok?
Dokter : Obatnya hanya satu
Bapak : Apa itu dok?

Dokter : Ikhlas

Sally, jangan Menggodaku

Diam Sally janganlah tertawa.
Diam Sally janganlah menggangguku.
Diam Sally janganlah mengusikku.
Diam Sally janganlah menggodaku.

Dahiku berkerut menatap semut-semut yang berbaris pada sebuah lembaran putih. Mereka seperti mengantri saat-saat mereka bisa terbang. Seperti halnya permainan game 3D yang biasa ditayangkan pada film-film produk luar negeri seperti avatar. Semut itu diikat dengan benda mirip helm yang membuat mereka tak sadarkan diri. Raga mereka masih menempel pada lembaran itu, tapi jiwa mereka berterbangan membentuk simbol-simbol yang menghubungkan jaringan saraf otak yang satu dengan yang lain.
Kekuatan kecepatan cahaya ang melebihi kecepatan bunyi terhubung dan membentuk sebuah jalan. Lompatan dari tebing yang satu ke tebing yang lain. Sehingga ketika kita kemblai melewati jalan itu, kita akan melewatinya dengan mudah. Ikatan itu terhubung membentuk symphoni, mengeluarkan sahaya yang takkan pernah mati. Mengumpulkan kesabaran dalam merakit setiap emosi yang tercipta. Dengan begitu akan terbentuk susunan layaknya sarang laba-laba yang memenuhi jaringan otak.
Aku adalah tukang pembuat jalan yang membangun jalan dari saraf yang satu ke saraf yang yang lain hingga membentuk suatu rakitan yang berkesinambungan. Meski BBM sudah naik, namun aku tak pernah merasa kekurangan bahan bakar. Mereka selalu menyediakannya di sebuah ruangan besar yang tersusun di dalam rak. Jumlahnya sangat banyak dan tak pernah habis walau dimakan berjuta orang. Aku juga bisa mendapatkannya secara cuma-cuma.
Sally memanggilku lagi dengan nadanya yang sudah aku setting. Dia selalu membawa pesan-pesan penting, namun kadang membuatku tergoda ketika aku sedang membuat jalan di otakku. Dia berdering lagi, kehadirannya selalu membuatku kepo untuk membaca pesan yang ia bawa. Dia memang benda penting yang menyebalkan. Tapi kalau dia tak lagi berdering, aku jadi ingin selalu mengunjunginya

Sally main saja dulu sana......
Jangan kau ganggu aku dengan pesan-pesan yang kau bawa itu....

Sudah makan dulu sana

Melawan Batas

Nama tak lagi mampu mengusung jiwa yang letih.
Hingga kini masih banyak yang berlari menangkap mereka.
Kawanan mempercepat langkahnya
Karna hanya akan ada segelintir orang yang akan mendapatkannya.
Tak jauh lagi semua kan kembali seperti dulu seperti halnya nyanyian lama.
Yang terkadang menyelipkan luka
Walau perih terasa namun rasa tetap sempurna.

Hujan pun tiba mengguyur debu yang melekat pada bangunan yang menjulang tinggi. Tak ada imbalan buat mereka layaknya tukang cuci motor, tukang cuci mobil, bahkan tukang laundry. Mereka hampir jarang marah kepada asap-asap yang keluar dari hidung benda-benda besar yang menjulang tinggi ini. Mereka tetap senantiasa mengguyur tubuh mereka kotor dan berdebu itu.

Jantung dari segala penghujung
Dari yang melintang hingga terpentang
Jauh di dasar yang kasar di dekat semak belukar
Hanyut terbawa kalut
Mengekang gejolak bintang
Yang tak pernah puas melawan batas
Dari segala arah yang marah
Dan yang lepas bagai kapas

Menghempas
Melepas
Menangkas
Batas

Puas

Bunga yang Melambung

Gejolak bintang terbang mengukir sinarnya. Panas yang pekat dan sedikit gelap lama-kelamaan menggulma.

Wajahmu menyiratkan rasa
Dari kepingan abu yang sirna
Merasa tertawa bak canda
Hitam kelam tenggelam
Roda berputar memakan saraf
Dari antusias si pohon bekas
Lekat mencuat mencatat liang lahat
Sanjungannya melepas keras

Tak ada tubuh yang membisu kecuali si kulit keras yang melepas panas. Kemarin tante Ica datang ke arahku. Dia berbisik lirih dan memberikanku sebuah kado kecil sederhana yang menggemparkan. Dengan terbata-bata dia membisikkannya ke telingaku. Suara lirih dan halus itu mulai menyapa lembut tubuhku. Dia membelai lembut kelopak mataku. Tubuhku yang biasanya tergeletak dan tak kuat mebuka mata secara tiba-tiba kini seolah terkejut. Mataku yang terbuka secara sempurna menatap sayup seisi ruangan yang dipenuhi wajah-wajah yang mempunyai air terjun yang keluar dari bola matanya.
Orang yang tadi membisikkan padaku juga sesekali menahan isak tangis. Kami semua berbondong-bondong memenuhi sebuah ruangan yang lebih besar. Semua orang disini berwajah sedih. Sebuah suara terdengar dari benda kotak berwarna hitam memecahkan keheningan kami.
“Innalillahi wainnailaihi raji’un. Hari ini kita kehilangan guru Besar kita.”

Semua isak tangis yang sedari tadi ditahan seketika bergejolak dan menggemparkan ruangan ini.

Senin, 24 Juni 2013

Kata Dibalik Cerita

Dua sinar rembulan yang menyapa menyemburkan tinta emasnya.
Dari yang sudah kusam dan tidak bercahaya.
Tertawa kembali dengan lelucon bambu.
Yang selalu tersenyum dikala sinar berlalu.
Dengan membawa tali-tali pengais luka.
Jaraknya yang melintang diantara kerasnya gelombang.
Satu kata dibalik cerita.
Kebodohan kelam yang sudah tenggelam.
Membawa kembali jiwa yang  runyam

Sepotong angin yang sudah pupus tak pernah lagi menentang roda yang berputar.
Seakan ada bayangan lain yang kembali menyapa.
Disana juga ada setitik nadi, dimana terdapat embun yang berputar.
Tak pernah lagi senyuman itu kembali tersirat.
Ketika ego mulai menjadi tembok-tembok besar.
Jadilah mereka serpihan pasir.
Yang kembali menghangatkan kulit empuknya.
Terkadang membesar dan terkadang menyusut.
Jiwa pemberani yang tahan diterpa karang yang menyimpan semburan dari nadi mereka yang kering dan terbakar.
Sakit diterjang ombak.
Perih disayat pasang

Hitam ditusuk sinarnya.

Psikopat

Ayah aku ingin pulang.....
Ayah, perempuan itu mengeluarkan bisa
Ayah, dia kembali mengejarku.
Ayah, aku ingin pergi saja.
Ayah, mereka memotong kain bajuku.
Ayah, mereka menertawaiku
Ayah, mereka memakan daging saudaranya.
Ayah, mereka melemparkan matanya kearahku.
Ayah, mereka memelukku dengan semburan api mereka
Ayah, aku takut
Ayah, aku ingin pulang saja.

Gemercik hujan membiaskan rangkaian cerita. Mereka menyapu bersih kepingan dosa. Aku menggapai sinar-sinar yang berputar di kepalaku. Mereka mengeluarkan gambar layaknya lembaran film yang berjalan. Dari adegan satu ke adegan lain. Mereka kadang berkesinambungan satu sama lain. Tapi terkadang hanya terputus layaknya radio rusak milikku yang kini sudah dimakan umur. Aku menikmati setiap film yang diputar mengelilingi kepalaku. Terkadang ada adegan lucu yang membawaku menembus masa lalu. Betapa aku berada disana dan menyaksikan tingkah konyol ketika itu. Aku tertawa lepas sambil sesekali memejamkan mataku. Menyaksikan film ditemani gerimis yang mengguyur kota, layaknya dongeng sebelum tidur. Aku memejamkan kembali mataku dengan senyuman kecil penyambut cerita-cerita hangat dari lembaran film itu.
Bisikan suara yang riuh tiba-tiba mengusik telingaku. Mereka berbondong-bondong berdemo ditelingaku. Suara-suara kecil yang keluar dari mulut wanita itu menerkam tubuhku yang lemah.
....................................................
“Kau tau anak kecil yang tadi duduk disini?”
“Oh iya aku tahu. Kenapa?”
“Dari tadi dia ketawa-ketawa sendiri. jangan-jangan dia gila.”
“Iya, aku dengar temannya juga ada yang gila.”
“Nah itu dia, biasanya sifatnya tidak jauh beda dengan temannya.”
“Aku jadi takut ketemu dengannya. Entar ketularan gila lagi.”
.................................................................................
Tubuhku dibangunkan suara-suara kecil yang sedari tadi menusuk tubuhku layaknya serangan perang jarum. Dengan lemah dan menahan perih yang menyakiti sekujur tubuhku ini aku berjalan menuju sebuah pintu. Aku membuka tirai dengan perlahan. Aku kembali diserang oleh mata-mata tajam yang dilesatkan kearahku. Mereka menembakkannya tepat kearah tubuhku yang lemah ini. Aku membawa tubuhku keluar dari ruangan itu dengan terlunta-lunta dengan mencabuti jarum yag tertancap di sekujur tubuhku. Aku berlari sekuat tenaga, namun bayangan mereka masih mengejarku. Aku tergeletak lemas dan meneteskan air yang menggenang di bola mataku.

Tersayat.....
Terjatuh.....
Terhempas....

Dan tergeletak lemah....

Rayuan Pulau Mimpi

Seutas kata yang mendekap didalamnya telah mengikat padang ilalang yang bernyanyi.
Kini tak lagi ada bambu kuning yang mencari secuil nasi untuk sang perahu layar yang sedari tadi mengais jejak semut merah.
Mereka mungkin boleh berdiri diantara kerbau yang mendaki.
Karna masih ada waktu yang lama untuk meyakinkan sang surya bahwa waktu takkan membiarkan mereka mengayuh sendiri.
Bila kini ada cara yang tepat untuk membakar emosi.
Mungkin sedikit lagi akan ada pulau yang menelusuri.
Jejak dari bagaimana mereka berlari.
Mendaki untuk sepenggal ubi.
Yang tak pernah meninggalkan mereka pergi.
Dari nuansa lirih seekor kelinci.
Jati diri yang takkan pernah mati.
Menyiksa mereka untuk mengasingkan diri.
Pada rayuan pulau mimpi.


Rabu, 19 Juni 2013

Pelukan Hujan

Diujung sana ada anak perempuan kecil yang berlari dengan rambut pirangnya. Dia mencari setitik nafas yang telah hilang bersama nyawa seorang yang disayanginya. Melewati segenap hati dari pohon pinus yang telah menuai rindu. Disana juga ada lembah kecil yang menanti sebuah umpan. Dengan jemarinya yang mengikat rating-ranting yang hilang.

Kala hati resah
Kala rindu resah
Masih ada arah
Yang tak pernah pasrah

Kala angin sepoi ikut bernyanyi
Di belantara yang sepi
Memandang langit nan suci
Dari berbagai arah yang berarti

Wujud dari berbagai arah yang tak pernah puas memaki dirinya menjadi orang yang penuh dosa. Dari yang muda hingga tua, dari pengalaman hingga tantangan, dari salju hingga rindu, dari rasa hingga cinta.

Kembali pada sebuah janji
Dari satu jiwa yang pernah lari
Daun hijau yang berduri
Mendampingi sanubari
Hingga bersemi kembali

Mungkin hanya perih
Mengikat akar dengan lirih
Hingga tersisih
Dan meringkih
Seperti halnya jiwa yang letih


Kejarlah yang ingin kau raih, karena hujan tak pernah bersedih.

Selasa, 18 Juni 2013

Satu Nadi

Sampan itu menaburkan serpihan cintanya.
Dari yang telah lama diketuk untuk keluar menghampiri angsa bersayap.
Sejauh ini jiwa hidup hanyalah kabut penyumbat kantong mata
Bahkan ada satu nyawa dibalik dinginnya raga.
Dia pergi mengorek benda-benda kecil dari sampan yang telah lama mengeras.
Takkan mungkin ada yang mau melakukan itu tanpa ada kesabaran memenuhi sebuah keyakinan bahwa sampan yang keras itu lama-lama juga bisa membentuk estetika.
Kesungguhan hati untuk membuat komitmen pada jiwa agar fokus pada satu hati.
Jiwa yang keras tak selamanya keras.
Jiwa yang lembut tak selamanya lembut.
Sampan itu keras
Air itu lembut
Air dengan lembut dan sabar selalu membelai Sampan keras penggerak agar selalu melaju dengan damai.
Sampan tak bisa bergerak tanpa air,
Dan air tak bisa merasa berharga tanpa adanya Sampan

Karena dua jiwa yang tak sempurna disatukan agar membentuk rangkaian yang berguna. 

Sorak Daun

Daun hijau yang tumbuh sudah mulai mengalir meninggalkan jejaknya.
Tak lagi ada kata rindu untuk suatu petualang pertama.
Di hari yang istimewa menjadikan kesan pertama yang istimewa.
Kelanjutan dari jiwa yang kuat menghadapi tantangan menjawab pertanyaan pohon kering yang sudah layu.
Ini adalah sebuah kisah perjalanan seorang anak emas yang pergi meniggalkan induknya.
Anak dari pohon besar yang melahirkan jiwa-jiwa emas agar ia mengembara untuk mencari ilmu setinggi mungkin.
Agar suatu saat nanti daun-daun itu kembali membawa cahaya dan air untuk memberi kesuburan kepada pohon induknya agar bisa menumbuhkan lebih banyak lagi jiwa-jiwa yang hebat.
Bukan rayuan kehausan atau keindahan tubuh daunnya.

Tapi kumpulan sel jiwa yang  kuat dari sebuah daun untuk membakar sel jiwa yang lain agar bisa menghangatkan sekaligus mengharumkan Negeri.

Senin, 17 Juni 2013

Kolong Bambu

Sinar matahari sudah menggelitik tubuh bocah kecil yang tergeletak diatas tumpukan jerami. Dia tersayat lembut oleh sinar matahari yang membelainya agar dia terbangun dan segera menapakkan kakinya pada daun ilalang yang sudah lama menantinya. Dia membuka matanya dengan tersenyum bahagia, serasa ada malaikat yang mengajaknya menari di sela-sela pelataran daun-daun yang berdiri lebih tinggi dari tubuh mungilnya. Dia tersenyum dan agak sedikit malu dengan keadaannya yang telah dipergoki oleh sang surya. Dia menempelkan kedua tangan ke mulutnya, sambil agak tersenyum malu.
Sang surya tertawa lepas melihatnya tersipu malu seperti dalam sebuah kartun anak-anak “Teletubies”. Dia menyengatkan sinar lembutnya untuk memecah partikel embun di pagi hari ini. Embun yang membasahi tubuhnya sedikit demi sedikit memudar. Dia tersenyum kepada matahari, alangkah baiknya sang surya yang dengan tulus membersihkan tubuhnya yang kedinginan. Segerombol daun ilalang yang bergoyang ala Inul daratista dengan iringan lagu “ Yamko Rambe Yamko”. Seisi sawah ikut berdendang menebarkan semangat untuk pagi yang cerah ini.
Ramon mulai bersemangat kembali, mewujudkan satu persatu dari mimpinya. Dia mengambil sebuah miniatur alat pembersih debu atau vacum cleaner. Dengan optimis, dia mengangguk – anggukkan kepalanya. Dia tersenyum kecil sambil memegang miniatur vacum cleaner itu. Diambilnya pena yang menyangkut di sela-sela jerami. Tulisan-tulisan yang ia tulis semalam masih meninggalkan sebuah ingatan tentang mimpinya. Dia meneruskan kembali rajutan mimpinya semalam di tempat ini. Karna memang rumah bambu sederhana dan kecil ini merupakan markas besarnya untuk merajut mimpi.
Hari ini dia tidak pulang ke rumah, dia tertidur pulas di markas besarnya. Markas yang ia bangun di pinggir sawah  dengan menggunakan bambu sebagai bahan dasarnya yang dibelakangnya dikelilingi semak belukar. Disampingnya ada segerombolan ilalang yang menari-nari menyambut cerahnya pagi, setelah semalam diterjang badai angin yang sangat dingin dan mengikat kuat kulitnya. Bocah kecil berusia 10 tahun ini selalu enjoy menikmati harinya di gubuk dekat sawah ini.
Berbeda dengan di rumah tempat tinggalnya yang berada di sebuah perkampungan. Disini dia bisa memperoleh semua informasi yang ia inginkan, mulai dari opportunity, peluang, bahkan tentang fasilitas pendidikan yang bisa dienyam siapa pun. Dia dapat mengetahui informasi itu dengan cepat melalui mesin pencari search engine. Karena markasnya itu berdiri di dekat wilayah perkotaan, tepatnya didekat sebuah kantor pusat informasi yang memilikki fasilitas wifi gratis.

Disampingnya, terlihat seekor kucing yang tergeletak di jerami tempatnya tidur. Kucing itu masih belum bisa membuka kantong matanya.  Kucing itu nampak kelelahan. Ramon mengelus badannya yang gemuk itu. Kucing itu terkejut dan membuka matanya sedikit sambil sedikit tersenyum. Ramon membalas senyumannya dan berkata, “ Kau boleh tinggal disini bila kau mau. Dan kita akan menjadi sahabat.” Kucing itu menatap tajam mata Ramon. “meonnggg..”, kucing itu tersenyum lalu menutup matanya kembali.

Minggu, 16 Juni 2013

Gedung Pemarah

Disini banyak gedung-gedung yang menjulang tinggi. Banyak orang-orang bertubuh besar yang berlalu-lalang kesana kemari. Setiap kali aku lewat, mereka acap kali menampakkan muka suramnya padaku. Namun ada juga yang mendekatiku dan memeluk erat tubuhku. Mereka semakin senang bila  melihatku nampak bingung dan berusaha berlari. Mereka senang menggertakku yang sedang bermain sendiri. Mereka adalah orang sibuk yang menggertakkan kakinya dengan keras pada lantai yang selalu tidur. Wajahnya selalu nampak bercahaya ketika doanya terkabul. Bahkan mereka selalu membagi sedikit lauknya padaku. Tubuh mereka besar dan tinggi, terkadang lembut terkadang pula kasar. Benda raksasa yang bergerak ini tak pernah puas melihatku menderita.
Sudut gembilang yang termakan janji biru dan membawa satu arti yang tak cukup dimaknai dalam ikatan sanubari. Gembala kecil yang menyanyi seolah tak pernah lupa mengangkat dagunya agar mereka sedikit ditakuti. Tak banyak angsa yang menceburkan dirinya demi mendapat sesuap nasi. Tak ada lagi kata puas dalam tubuh kering nan kurus ini. Mereka tetap saja berlayar menerjang bus kota yang kentut. Bahkan mereka tak pernah memarahi mereka yang kentut sembarangan di jalan. Kentut mereka terlihat jelas menyusup dimana-mana. Tangki-tangki besar pengangkut selalu mengisi tubuh mereka. Namun mereka tak berterima kasih padanya, malah mereka membuangnya dengan sebuah ejekan hina yaitu melalui lubang bagian belakang.
Katak kecil yang bermain air di dalam senyawa mengoyak ikan-ikan dengan tatapan bola mata mereka yang seperti bulan. Setiap kali aku masuk dalam ruangan ini mereka selalu menyeretku keluar dan memaki-makiku. Aku berlari dan menatap tajam mereka. Ingin kurobek bibir yang selalu bergetar itu. Mataku kupusatkan pada sebuah santapan lezat di sudut ruangan. Dengan cepat aku membidiknya dan berlari sekencang-kencangnya meninggalkan mereka. Mereka mengangkat kepalan tangannya dan berlari mengejarku. Suara mereka sangat keras, tapi tak satupun ada maksud dari ucapan mereka yang aku tangkap. Akhirnya aku bisa terlepas dari mereka. Mereka yang bertubuh bersih dan indah tak pernah mau menerimaku.
Aku dianggap makhluk kotor yang tak boleh mengganggu kehidupan mereka. Mereka selalu melarangku mengeluarkan kotoran di lantai. Mereka tak pernah berpikir bagaimana rasanya menahan kotoran ini agar tidak keluar. Mereka melarangku, namun tak memeberikan solusi dimana tempat yang tepat untukku agar aku bisa menghela nafas untuk mengeluarkan kotoran ini dengan tenang. Seperti halnya yang mereka lakukan, yaitu membuat tempat khusus untuk membuang kotorannya agar tidak mengganggu orang lain. Mereka menindas tempat tinggalku dan menjadikannya menjadi hunian mereka. Aku pun bersabar karna tak punya kekutatan super yang bisa menegur mereka. Mereka tak memberikanku rumah pengganti, malah mereka selalu mengusirku yang sedang berkunjung ke bekas rumahku.

Aku sudah berlari jauh meninggalkan mereka. Aku ikhlaskan saja tempat tinggal lamaku. Tapi aku akan tetap berkunjung kesana menyambut hidangan-hidangan lezat yang selalu tersedia di meja makan mereka. Disana ada semak-semak dan ikatan bambu yang membentuk sebuah pondasi. Aku memasuki rangkaian bambu yang membentuk gowa itu. Tempat ini sepertinya nyaman untukku. Kesannya memang tidak mewah. Berbeda dengan ruangan di bangunan tinggi yang sangat bersih dan indah tadi. Didalamnya ada manusia bertubuh kecil yang sedang tertidur pulas. Aku mendekatinya dan menjilat keningnya. “meonggg... meoongg...”, aku menyapanya dengan ramah. Dia membuka matanya dan tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya bahagia dan menyambutku  dengan senyuman ramahnya. “meonggg.....”. dia sudah tak kuat lagi membuka matanya dan segera menutupnya. Aku ikut tertidur pulas disampingnya.

Langit pun tak Mendengar

Mataku sudah semakin pudar dan tak jelas lagi melihat bayangan yang berada tepat dimataku. Benda-benda yang memadati wilayah ini seperti telah diledaki sebuah bom atom. Mereka seolah diselimuti oleh kabut tebal yang membalut dan mengikat kuat tubuhnya. Aku seperti berada dalam lemari es yang disesaki dengan kabut tebal. Dan berada di depan sebuah tempat pemanggangan sate. Namun entahlah, orang-orang yang berjalan dengan cepat di sekitar sini sepertinya tidak mempedulikan hal itu. Mereka tetap saja berlomba-lomba mengangkat tubuh mereka agar segera beranjak dari tempat ini.
Benda beroda dua dan beroda empat selalu saja berlalu sambil meninggalkan kabut tebal ini. Kabut tebal menyumbat hidungku dan masuk ke urat sarafku. Mereka mengikat tubuhku hingga aku lesu dan tergeletak lemas. Orang-orang yang berjalan dengan kakinya juga membawa sebuah benda berasap kecil yang menyelinap masuk ke tubuhku dan membuatku batuk-batuk. Oh tidak, sekarang mereka berlari menyerbuku yang sedang menghela nafas panjang. Pasukan bersenjata tajam itu membawa bola-bola kecil pembawa penyakit. Segera aku berlari meninggalkan gerombolan asap itu.
Denting piano membawaku pada sebuah jalan. Jalan setapak diatas sebuah kesunyian. Dimana ada kupu-kupu kecil yang menari dan mengiringi langkahku. Mereka seolah mengajakku terbang ke atas langit yang tak pernah marah. Sambil menggerakkan kepalaku kekanan dan kekiri mengikuti satu persatu dari langkah mereka. Warna tubuh mereka beraneka ragam, layaknya lagu “Balonku Ada 5” yang sering diajarkan Bu guru ketika aku TK.  Aku berlari mengejar langkah mereka sambil meloncat-loncat meninggalkan kerumunan asap yang sedang menyusun rencana untuk menyerangku.
Jalan yang indah dengan bunga di samping kanan dan kiri jalan setapak ini. Rumput-rumput bergoyang dan tersennyum kearahku. Namun aku tak ingin bertanya seperti saran Ebiet dalam sebuah lirik lagunya “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”. Karena aku hanya ingin menikmati suasana di sekitar ini dengan rasaku. Pohon besar yang berjajar disamping jalan ini juga menundukkan tubuhnya untuk menyambut siapa saja yang lewat. Lihat saja, tangkai yang ditumpangi daun itu membungkukkan tubuhnya dan berusaha meraih orang yang lewat sebagai tanda untuk menyambut kedatangan orang yang melewatinya. Aku mengangkat tanganku untuk menerima jabat tangan mereka. Mereka tersenyum dan meniupkan udara sejuk ke arahku.
Aku berlari dengan sempoyongan, berputar-putar sambil mengangkatkan kakiku menelusuri jalan ini. Hingga aku sampai pada sebuah tempat luas yang dipadati banyak orang.  Aku memainkan jemari kananku seperti halnya kereta api yang melandas. Dengan menggoyang-nggoyangkan kepala, aku menggerakkan jemariku seperti sebuah adegan drama. Sontak aku tertawa kencang melihat adegan drama yang dimainkan jari-jemariku. Aku tertawa sambil menempelkan kedua tanganku di bawah dagu. Aku tertawa lagi sambil merentangkan tanganku dan berputar. Berdiri, duduk, lari, berputar, tertawa, sedih, marah menangis dan tersenyum geli melihat jari-jariku.
Mereka menatapku dengan tajam dan menembakkan tinta emosi mereka ke arahku. Bibir mereka bergetar dan bergerak seperti mengeluarkan sebuah bunyi. Namun yang kudengar hanyalah denting piano yang berputar dikepalaku. Gerakan bibir itu menerjangku. Wajahku tak mampu menahan tinta yang melesat dan membakar tubuhku. Jalanku sempoyongan dan sudah tak terkendali. Aku tak mau melepas alat penyumbat bersuara yang melekat di telingaku. Aku tak mau makhluk-makhluk yang keluar dari bibir mereka masuk ke telingaku. Lebih baik aku mendengarkan denting piano yang mengiringi otakku.

Disana kulihat seorang wanita setengah tua yang melangkah cepat mendekatiku. Dia mengayun-ayunkan tangannya dengan cepat. Semua mata yang tadi mengarah padaku sekejap melesat kearahnya. Aku tertunduk lesu dan hanya bisa menahan kabut tebal yang menyerangku layaknya seorang kiper pada permainan sepak bola. Aku tersenyum menyambut kehadirannya. Wanita dengan pakaian anggun dan suci itu seperti membiaskan luka di hatiku. Cahaya hatinya menyinari mataku dan memusnahkan kabut tebal yang menyerangku. “Ramon, kau sedang apa di situ?”, ucap wanita itu dengan lirih dan lembut.