Minggu, 16 Juni 2013

Langit pun tak Mendengar

Mataku sudah semakin pudar dan tak jelas lagi melihat bayangan yang berada tepat dimataku. Benda-benda yang memadati wilayah ini seperti telah diledaki sebuah bom atom. Mereka seolah diselimuti oleh kabut tebal yang membalut dan mengikat kuat tubuhnya. Aku seperti berada dalam lemari es yang disesaki dengan kabut tebal. Dan berada di depan sebuah tempat pemanggangan sate. Namun entahlah, orang-orang yang berjalan dengan cepat di sekitar sini sepertinya tidak mempedulikan hal itu. Mereka tetap saja berlomba-lomba mengangkat tubuh mereka agar segera beranjak dari tempat ini.
Benda beroda dua dan beroda empat selalu saja berlalu sambil meninggalkan kabut tebal ini. Kabut tebal menyumbat hidungku dan masuk ke urat sarafku. Mereka mengikat tubuhku hingga aku lesu dan tergeletak lemas. Orang-orang yang berjalan dengan kakinya juga membawa sebuah benda berasap kecil yang menyelinap masuk ke tubuhku dan membuatku batuk-batuk. Oh tidak, sekarang mereka berlari menyerbuku yang sedang menghela nafas panjang. Pasukan bersenjata tajam itu membawa bola-bola kecil pembawa penyakit. Segera aku berlari meninggalkan gerombolan asap itu.
Denting piano membawaku pada sebuah jalan. Jalan setapak diatas sebuah kesunyian. Dimana ada kupu-kupu kecil yang menari dan mengiringi langkahku. Mereka seolah mengajakku terbang ke atas langit yang tak pernah marah. Sambil menggerakkan kepalaku kekanan dan kekiri mengikuti satu persatu dari langkah mereka. Warna tubuh mereka beraneka ragam, layaknya lagu “Balonku Ada 5” yang sering diajarkan Bu guru ketika aku TK.  Aku berlari mengejar langkah mereka sambil meloncat-loncat meninggalkan kerumunan asap yang sedang menyusun rencana untuk menyerangku.
Jalan yang indah dengan bunga di samping kanan dan kiri jalan setapak ini. Rumput-rumput bergoyang dan tersennyum kearahku. Namun aku tak ingin bertanya seperti saran Ebiet dalam sebuah lirik lagunya “Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang”. Karena aku hanya ingin menikmati suasana di sekitar ini dengan rasaku. Pohon besar yang berjajar disamping jalan ini juga menundukkan tubuhnya untuk menyambut siapa saja yang lewat. Lihat saja, tangkai yang ditumpangi daun itu membungkukkan tubuhnya dan berusaha meraih orang yang lewat sebagai tanda untuk menyambut kedatangan orang yang melewatinya. Aku mengangkat tanganku untuk menerima jabat tangan mereka. Mereka tersenyum dan meniupkan udara sejuk ke arahku.
Aku berlari dengan sempoyongan, berputar-putar sambil mengangkatkan kakiku menelusuri jalan ini. Hingga aku sampai pada sebuah tempat luas yang dipadati banyak orang.  Aku memainkan jemari kananku seperti halnya kereta api yang melandas. Dengan menggoyang-nggoyangkan kepala, aku menggerakkan jemariku seperti sebuah adegan drama. Sontak aku tertawa kencang melihat adegan drama yang dimainkan jari-jemariku. Aku tertawa sambil menempelkan kedua tanganku di bawah dagu. Aku tertawa lagi sambil merentangkan tanganku dan berputar. Berdiri, duduk, lari, berputar, tertawa, sedih, marah menangis dan tersenyum geli melihat jari-jariku.
Mereka menatapku dengan tajam dan menembakkan tinta emosi mereka ke arahku. Bibir mereka bergetar dan bergerak seperti mengeluarkan sebuah bunyi. Namun yang kudengar hanyalah denting piano yang berputar dikepalaku. Gerakan bibir itu menerjangku. Wajahku tak mampu menahan tinta yang melesat dan membakar tubuhku. Jalanku sempoyongan dan sudah tak terkendali. Aku tak mau melepas alat penyumbat bersuara yang melekat di telingaku. Aku tak mau makhluk-makhluk yang keluar dari bibir mereka masuk ke telingaku. Lebih baik aku mendengarkan denting piano yang mengiringi otakku.

Disana kulihat seorang wanita setengah tua yang melangkah cepat mendekatiku. Dia mengayun-ayunkan tangannya dengan cepat. Semua mata yang tadi mengarah padaku sekejap melesat kearahnya. Aku tertunduk lesu dan hanya bisa menahan kabut tebal yang menyerangku layaknya seorang kiper pada permainan sepak bola. Aku tersenyum menyambut kehadirannya. Wanita dengan pakaian anggun dan suci itu seperti membiaskan luka di hatiku. Cahaya hatinya menyinari mataku dan memusnahkan kabut tebal yang menyerangku. “Ramon, kau sedang apa di situ?”, ucap wanita itu dengan lirih dan lembut.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar