Mataku sudah semakin pudar dan tak jelas lagi melihat bayangan
yang berada tepat dimataku. Benda-benda yang memadati wilayah ini seperti telah
diledaki sebuah bom atom. Mereka seolah diselimuti oleh kabut tebal yang
membalut dan mengikat kuat tubuhnya. Aku seperti berada dalam lemari es yang
disesaki dengan kabut tebal. Dan berada di depan sebuah tempat pemanggangan
sate. Namun entahlah, orang-orang yang berjalan dengan cepat di sekitar sini sepertinya
tidak mempedulikan hal itu. Mereka tetap saja berlomba-lomba mengangkat tubuh
mereka agar segera beranjak dari tempat ini.
Benda beroda dua dan beroda empat selalu saja berlalu sambil
meninggalkan kabut tebal ini. Kabut tebal menyumbat hidungku dan masuk ke urat
sarafku. Mereka mengikat tubuhku hingga aku lesu dan tergeletak lemas. Orang-orang
yang berjalan dengan kakinya juga membawa sebuah benda berasap kecil yang
menyelinap masuk ke tubuhku dan membuatku batuk-batuk. Oh tidak, sekarang
mereka berlari menyerbuku yang sedang menghela nafas panjang. Pasukan bersenjata
tajam itu membawa bola-bola kecil pembawa penyakit. Segera aku berlari
meninggalkan gerombolan asap itu.
Denting piano membawaku pada sebuah jalan. Jalan setapak
diatas sebuah kesunyian. Dimana ada kupu-kupu kecil yang menari dan mengiringi
langkahku. Mereka seolah mengajakku terbang ke atas langit yang tak pernah
marah. Sambil menggerakkan kepalaku kekanan dan kekiri mengikuti satu persatu
dari langkah mereka. Warna tubuh mereka beraneka ragam, layaknya lagu “Balonku
Ada 5” yang sering diajarkan Bu guru ketika aku TK. Aku berlari mengejar langkah mereka sambil
meloncat-loncat meninggalkan kerumunan asap yang sedang menyusun rencana untuk
menyerangku.
Jalan yang indah dengan bunga di samping kanan dan kiri jalan
setapak ini. Rumput-rumput bergoyang dan tersennyum kearahku. Namun aku tak
ingin bertanya seperti saran Ebiet dalam sebuah lirik lagunya “Coba kita
bertanya pada rumput yang bergoyang”. Karena aku hanya ingin menikmati
suasana di sekitar ini dengan rasaku. Pohon besar yang berjajar disamping jalan
ini juga menundukkan tubuhnya untuk menyambut siapa saja yang lewat. Lihat saja,
tangkai yang ditumpangi daun itu membungkukkan tubuhnya dan berusaha meraih
orang yang lewat sebagai tanda untuk menyambut kedatangan orang yang
melewatinya. Aku mengangkat tanganku untuk menerima jabat tangan mereka. Mereka
tersenyum dan meniupkan udara sejuk ke arahku.
Aku berlari dengan sempoyongan, berputar-putar sambil
mengangkatkan kakiku menelusuri jalan ini. Hingga aku sampai pada sebuah tempat
luas yang dipadati banyak orang. Aku memainkan
jemari kananku seperti halnya kereta api yang melandas. Dengan
menggoyang-nggoyangkan kepala, aku menggerakkan jemariku seperti sebuah adegan
drama. Sontak aku tertawa kencang melihat adegan drama yang dimainkan
jari-jemariku. Aku tertawa sambil menempelkan kedua tanganku di bawah dagu. Aku
tertawa lagi sambil merentangkan tanganku dan berputar. Berdiri, duduk, lari,
berputar, tertawa, sedih, marah menangis dan tersenyum geli melihat
jari-jariku.
Mereka menatapku dengan tajam dan menembakkan tinta emosi
mereka ke arahku. Bibir mereka bergetar dan bergerak seperti mengeluarkan
sebuah bunyi. Namun yang kudengar hanyalah denting piano yang berputar
dikepalaku. Gerakan bibir itu menerjangku. Wajahku tak mampu menahan tinta yang
melesat dan membakar tubuhku. Jalanku sempoyongan dan sudah tak terkendali. Aku
tak mau melepas alat penyumbat bersuara yang melekat di telingaku. Aku tak mau
makhluk-makhluk yang keluar dari bibir mereka masuk ke telingaku. Lebih baik
aku mendengarkan denting piano yang mengiringi otakku.
Disana kulihat seorang wanita setengah tua yang melangkah
cepat mendekatiku. Dia mengayun-ayunkan tangannya dengan cepat. Semua mata yang
tadi mengarah padaku sekejap melesat kearahnya. Aku tertunduk lesu dan hanya
bisa menahan kabut tebal yang menyerangku layaknya seorang kiper pada permainan
sepak bola. Aku tersenyum menyambut kehadirannya. Wanita dengan pakaian anggun
dan suci itu seperti membiaskan luka di hatiku. Cahaya hatinya menyinari mataku
dan memusnahkan kabut tebal yang menyerangku. “Ramon, kau sedang apa di situ?”,
ucap wanita itu dengan lirih dan lembut.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar