Selasa, 25 Juni 2013

Bunga yang Melambung

Gejolak bintang terbang mengukir sinarnya. Panas yang pekat dan sedikit gelap lama-kelamaan menggulma.

Wajahmu menyiratkan rasa
Dari kepingan abu yang sirna
Merasa tertawa bak canda
Hitam kelam tenggelam
Roda berputar memakan saraf
Dari antusias si pohon bekas
Lekat mencuat mencatat liang lahat
Sanjungannya melepas keras

Tak ada tubuh yang membisu kecuali si kulit keras yang melepas panas. Kemarin tante Ica datang ke arahku. Dia berbisik lirih dan memberikanku sebuah kado kecil sederhana yang menggemparkan. Dengan terbata-bata dia membisikkannya ke telingaku. Suara lirih dan halus itu mulai menyapa lembut tubuhku. Dia membelai lembut kelopak mataku. Tubuhku yang biasanya tergeletak dan tak kuat mebuka mata secara tiba-tiba kini seolah terkejut. Mataku yang terbuka secara sempurna menatap sayup seisi ruangan yang dipenuhi wajah-wajah yang mempunyai air terjun yang keluar dari bola matanya.
Orang yang tadi membisikkan padaku juga sesekali menahan isak tangis. Kami semua berbondong-bondong memenuhi sebuah ruangan yang lebih besar. Semua orang disini berwajah sedih. Sebuah suara terdengar dari benda kotak berwarna hitam memecahkan keheningan kami.
“Innalillahi wainnailaihi raji’un. Hari ini kita kehilangan guru Besar kita.”

Semua isak tangis yang sedari tadi ditahan seketika bergejolak dan menggemparkan ruangan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar