Gejolak bintang terbang mengukir
sinarnya. Panas yang pekat dan sedikit gelap lama-kelamaan menggulma.
Wajahmu menyiratkan rasa
Dari kepingan abu yang sirna
Merasa tertawa bak canda
Hitam kelam tenggelam
Roda berputar memakan saraf
Dari antusias si pohon bekas
Lekat mencuat mencatat liang lahat
Sanjungannya melepas keras
Tak ada tubuh yang membisu kecuali si kulit keras yang
melepas panas. Kemarin tante Ica datang ke arahku. Dia berbisik lirih dan
memberikanku sebuah kado kecil sederhana yang menggemparkan. Dengan terbata-bata
dia membisikkannya ke telingaku. Suara lirih dan halus itu mulai menyapa lembut
tubuhku. Dia membelai lembut kelopak mataku. Tubuhku yang biasanya tergeletak
dan tak kuat mebuka mata secara tiba-tiba kini seolah terkejut. Mataku yang
terbuka secara sempurna menatap sayup seisi ruangan yang dipenuhi wajah-wajah
yang mempunyai air terjun yang keluar dari bola matanya.
Orang yang tadi membisikkan padaku juga sesekali menahan isak
tangis. Kami semua berbondong-bondong memenuhi sebuah ruangan yang lebih besar.
Semua orang disini berwajah sedih. Sebuah suara terdengar dari benda kotak
berwarna hitam memecahkan keheningan kami.
“Innalillahi wainnailaihi raji’un. Hari ini kita kehilangan
guru Besar kita.”
Semua isak tangis yang sedari tadi ditahan seketika
bergejolak dan menggemparkan ruangan ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar