Disini
banyak gedung-gedung yang menjulang tinggi. Banyak orang-orang bertubuh besar
yang berlalu-lalang kesana kemari. Setiap kali aku lewat, mereka acap kali
menampakkan muka suramnya padaku. Namun ada juga yang mendekatiku dan memeluk
erat tubuhku. Mereka semakin senang bila melihatku nampak bingung dan berusaha berlari.
Mereka senang menggertakku yang sedang bermain sendiri. Mereka adalah orang
sibuk yang menggertakkan kakinya dengan keras pada lantai yang selalu tidur. Wajahnya
selalu nampak bercahaya ketika doanya terkabul. Bahkan mereka selalu membagi
sedikit lauknya padaku. Tubuh mereka besar dan tinggi, terkadang lembut
terkadang pula kasar. Benda raksasa yang bergerak ini tak pernah puas melihatku
menderita.
Sudut
gembilang yang termakan janji biru dan membawa satu arti yang tak cukup dimaknai
dalam ikatan sanubari. Gembala kecil yang menyanyi seolah tak pernah lupa
mengangkat dagunya agar mereka sedikit ditakuti. Tak banyak angsa yang
menceburkan dirinya demi mendapat sesuap nasi. Tak ada lagi kata puas dalam
tubuh kering nan kurus ini. Mereka tetap saja berlayar menerjang bus kota yang
kentut. Bahkan mereka tak pernah memarahi mereka yang kentut sembarangan di
jalan. Kentut mereka terlihat jelas menyusup dimana-mana. Tangki-tangki besar
pengangkut selalu mengisi tubuh mereka. Namun mereka tak berterima kasih
padanya, malah mereka membuangnya dengan sebuah ejekan hina yaitu melalui
lubang bagian belakang.
Katak
kecil yang bermain air di dalam senyawa mengoyak ikan-ikan dengan tatapan bola
mata mereka yang seperti bulan. Setiap kali aku masuk dalam ruangan ini mereka
selalu menyeretku keluar dan memaki-makiku. Aku berlari dan menatap tajam mereka.
Ingin kurobek bibir yang selalu bergetar itu. Mataku kupusatkan pada sebuah
santapan lezat di sudut ruangan. Dengan cepat aku membidiknya dan berlari
sekencang-kencangnya meninggalkan mereka. Mereka mengangkat kepalan tangannya
dan berlari mengejarku. Suara mereka sangat keras, tapi tak satupun ada maksud
dari ucapan mereka yang aku tangkap. Akhirnya aku bisa terlepas dari mereka. Mereka
yang bertubuh bersih dan indah tak pernah mau menerimaku.
Aku
dianggap makhluk kotor yang tak boleh mengganggu kehidupan mereka. Mereka selalu
melarangku mengeluarkan kotoran di lantai. Mereka tak pernah berpikir bagaimana
rasanya menahan kotoran ini agar tidak keluar. Mereka melarangku, namun tak
memeberikan solusi dimana tempat yang tepat untukku agar aku bisa menghela
nafas untuk mengeluarkan kotoran ini dengan tenang. Seperti halnya yang mereka
lakukan, yaitu membuat tempat khusus untuk membuang kotorannya agar tidak
mengganggu orang lain. Mereka menindas tempat tinggalku dan menjadikannya
menjadi hunian mereka. Aku pun bersabar karna tak punya kekutatan super yang
bisa menegur mereka. Mereka tak memberikanku rumah pengganti, malah mereka
selalu mengusirku yang sedang berkunjung ke bekas rumahku.
Aku
sudah berlari jauh meninggalkan mereka. Aku ikhlaskan saja tempat tinggal
lamaku. Tapi aku akan tetap berkunjung kesana menyambut hidangan-hidangan lezat
yang selalu tersedia di meja makan mereka. Disana ada semak-semak dan ikatan
bambu yang membentuk sebuah pondasi. Aku memasuki rangkaian bambu yang membentuk
gowa itu. Tempat ini sepertinya nyaman untukku. Kesannya memang tidak mewah. Berbeda
dengan ruangan di bangunan tinggi yang sangat bersih dan indah tadi. Didalamnya
ada manusia bertubuh kecil yang sedang tertidur pulas. Aku mendekatinya dan
menjilat keningnya. “meonggg... meoongg...”, aku menyapanya dengan ramah. Dia membuka
matanya dan tersenyum melihatku. Aku senang melihatnya bahagia dan
menyambutku dengan senyuman ramahnya. “meonggg.....”.
dia sudah tak kuat lagi membuka matanya dan segera menutupnya. Aku ikut tertidur
pulas disampingnya.
sudah kuduga sejak kalimat 'Mereka selalu melarangku mengeluarkan kotoran di lantai'....hahaha arek iki reekkk....sip kon...
BalasHapussek akeh kata salah ketik no,,sido melu flp po g?
oke... :)
BalasHapusthanks for feel free to leave a comment
revisi buat karya selanjutnya
:D